Pakaian Sesuai Sunnah

Pakaian Sesuai SunnahSeseorang berkata kepada rekannya yang memakai songkok nasional warna hitam, kemeja, dan
sarung saat menghadiri ta’lim : ‘Sudah lama ngaji kok pakaiannya
seperti orang awam
’. Dengan kemasan sedikit berbeda, ada orang berkata : ‘Kayak
sururiy saja ente ini
’. Jadi terbayang di benak saya, seragam resmi apakah
yang mesti dipakai bagi orang yang ingin ngaji Salafiy ?. Peci (haji)
putih ?. Gamis Saudi/Pakistan ?. Tapi sebelumnya, mari kita dengarkan rekaman
penjelasan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berikut :
.


Kurang
lebih terjemahannya adalah :
Pertanyaan
:
ما حكم من صلى بالناس
إمامًا وليس على رأسه غطاء ؟
“Apa hukum seorang yang shalat mengimami manusia tanpa memakai penutup di kepalanya
(peci atau imamah) ?.
Beliau
rahimahullah menjawab :
لا حرج في ذلك ؛
لأن الرأس ليس من العورة ، إنما السنة أن يُصلى بالإزار والرداء ؛ لقول النبي صلى
الله عليه وسلم : لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء
فإذا صلى مكشوف
الرأس فلا حرج في ذلك ، لكن إذا أخذ زينته واستكمل زينته يكون أفضل ؛ لقول الله
سبحانه : يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
فإذا استكمل
الزينة التي اعتادها في بلاده مع جماعته ، وكان من عادتهم أنهم يسترون الرؤوس فهذا
أفضل ، أما إذا كان في بلاده ليس من عادتهم هذا ، بل من عادتهم كشف الرؤوس فلا بأس
أن يصلي بهم مكشوف الرأس
“Tidak mengapa akan hal itu, karena kepala bukan termasuk aurat. Yang termasuk
sunnah hanyalah shalat dengan memakai sarung dan baju, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam
: ‘Janganlah salah seorang di antara kalian shalat
dengan memakai satu pakaian saja, dimana tidak ada sesuatu pun yang menutupi
pundaknya
’.
Apabila ia shalat tanpa memakai penutup kepala, maka tidak mengapa. Akan tetapi apabila
ia mengenakan perhiasannya dan menyempurnakannya (dengan mengenakan tutup
kepala), maka hal itu afdlal (lebih utama), berdasarkan firman Allah subhaanahu
wa ta’ala
: ‘Wahai Bani Aadam, gunakanlah perhiasan kalian setiap kali
menuju masjid
’ (QS. Al-A’raaf : 31). Oleh karena itu, apabila ia
menyempurnakan perhiasan yang biasa berlaku pada negerinya bersama jama’ahnya,
dimana termasuk di antara kebiasaan mereka (penduduk negeri) adalah menutup
kepala; maka hal ini afdlal (lebih utama dilakukan). Sebaliknya, jika
kebiasaan yang berlaku dalam negerinya tidak seperti itu, bahkan termasuk
kebiasaan mereka adalah tidak memakai penutup kepala; maka tidak mengapa shalat
bersama mereka dengan keadaan kepala terbuka (tanpa memakai penutup)” [selesai
– lihat juga transkripnya di :
http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=2907].
Asy-Syaikh
Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah pernah ditanya :
ما حكم الشرع
فيمن يصلي عاري الرأس ؟
“Apa hukum syar’iy orang yang shalat dengan kepalanya terbuka (tanpa penutup)?”.
Beliau
rahimahullah menjawab :
لا بأس أن يصلي الرجل
عاري الرأس ؛ فإن الرأس ليست من العورة التي أمرنا الله بسترها ، ولم يكن الرسول صلى
الله عليه وسلم يلتزم تغطية الرأس في الصلاة ، بل كان كثيرا ما يصلي عاري الرأس ، وكان
بعض الأئمة يستحب الصلاة عاري الرأس ، ويرى أنه أبلغ في التعبد
“Tidak
mengapa seorang laki-laki shalat kepalanya terbuka, karena kepala bukan
termasuk aurat yang Allah perintahkan kepada kita untuk menutupnya. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam
juga tidak melazimkan menutup kepala dalam shalat. Bahkan
beliau sering shalat dalam keadaan kepala terbuka. Dan sebagian imam menyukai
shalat dengan kepala terbuka, dan mereka berpendapat hal tersebut lebih sampai
pada ta’abbud” [An-Nibraas min Fataawaa Muhammad Khaliil Harraas;
Daarul-Aatsaar].
Apabila
kepala bukan merupakan aurat yang mesti ditutup saat shalat, maka memakai
penutup kepala (peci, ‘imaamah/surban, ghutrah, dan yang
semisalnya) tidaklah diwajibkan. Jika dalam shalat tidak diwajibkan, maka di
luar shalat hukumnya (tentu) lebih ringan.
Jika
demikian, benarkah kemudian jika memakai dan tidak memakai peci dianggap
sebagai barometer kesalafian seseorang ? – sementara kita mengetahui tidak
wajib memakai peci. Jika jawabannya adalah ‘tidak’, bukankah lebih layak untuk tidak
membicarakan masalah warna peci dalam hal identitas kesalafian seseorang ?.
Kemudian,.....
pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Ibnul-Utsaimiin rahimahullah :
لبس العمامة هل
هي سنة ثبتت عن الرسول صلى الله عليه وسلم ؟
“Memakai
‘imaamah, apakah ia termasuk sunnah yang tetap dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam
?”.
Beliau
rahimahullah menjawab :
لا ، لباس
العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم
يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك
شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون
العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها ، وأظن أن بلاد
المسلمين اليوم تختلف ، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم ، وفي بعض البلاد
بالعكس ، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة ؛ لأنها معتادة في عهده ،
ولهذا لم يأمر بها ، بل نهى عن لباس الشهرة ، مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن
يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه ، إلا أن يكون محرماً......
“Tidak. Pakaian ‘imaamah
itu bukan termasuk sunnah, akan tetapi termasuk kebiasaan (‘aadah).
Yang sunnah bagi setiap orang adalah ia memakai pakaian yang dipakai oleh
orang-orang selama tidak diharamkan secara dzatnya. Kami hanyalah mengatakan
hal ini karena jika ia memakai pakaian yang menyelisihi kebiasaan orang-orang,
maka itu termasuk syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarang pakaian syuhrah. Apabila kita berada di negeri yang penduduknya
mempunyai kebiasaan memakai ‘imaamah, maka kita memakai ‘imaamah.
Dan apabila kita berada di negeri yang penduduknya tidak biasa memakai ‘imaamah,
kita pun tidak memakainya. Dan aku menduga negeri kaum muslimin saat ini
berbeda-beda keadaannya. Sebagian negeri banyak yang memakai ‘imaamah,
dan sebagian negeri lainnya sebaliknya. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam
biasa memakai ‘imaamah, karena ia biasa dipakai di jaman
beliau. Oleh karena itu, beliau tidak memerintahkan manusia untuk memakainya.
Namun di sisi lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang
memakai pakaian syuhrah. Hal ini memberikan faedah bahwa sunnah dalam
pakaian adalah seseorang mengikuti apa yang biasa orang-orang memakainya,
kecuali jika pakaian tersebut diharamkan..... “ [Pertemuan Terbuka, 23/60].
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan As-Suhaim pernah ditanya tentang hukum memakai pakaian ala Punjabiy bagi wanita yang menyerupai pakaian model Pakistan. Beliau menjawab :
إذا لم يكن من
لباس أهل البلد فيُمنع منه ؛ لأنه يدخل في حُكم لِباس الشُّهْرَة ، وهو اللباس
الذي تشتهر به المرأة أو تتميّز به عن غيرها.


وقد قال عليه الصلاة
والسلام : من لبس ثوب شهرة في الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة . رواه
الإمام أحمد وأبو داود
“Apabila
pakaian tersebut bukan termasuk pakaian penduduk negeri, maka terlarang
memakainya, karena ia masuk dalam hukum pakaian syuhrah. Yaitu pakaian dimana
seorang wanita menjadi masyhur dengannya atau berbeda sendiri dari wanita
lainnya.
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Barangsiapa yang
memakai pakaian ketenaran (syuhrah) di dunia, niscaya Allah akan kenakan padanya
pakaian kehinaan pada hari kiamat’
. Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad dan
Abu Daawud” [sumber : http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=59333].
Lihatlah
atribut pakaian beberapa orang ulama berikut :
1.  
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah (Yordania) :

2.  
Asy-Syaikh
Dr. Ihsaan Ilahi Dhaahir rahimahullah (Pakistan) :
3.  
Asy-Syaikh
Muhammad bin Ismaa’iil Al-Muqaddam hafidhahullah (Mesir) :
Apakah
mereka akan keluar dari lingkup salafiy hanya karena tidak ‘berpakaian salafiy’
sesuai standar yang ditentukan oleh sebagian orang ?.
Sama
halnya,.... seandainya ada seseorang yang berpakaian muslim nasional seperti di
bawah dan ingin ngaji salafiy, akankah ia diharuskan menanggalkan pakaiannya tersebut lalu menggantinya
dengan pakaian ala Saudi atau Pakistan ?.

Wallaahul-musta’aan.

Postingan terkait: