Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 6)

[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

AKU PUN BER-SAFAR BERSAMA BELIAU


Safar adalah Penguak Tabir Akhlak

Safar merupakan penguak tabir hakikat yang sesungguhnya dari akhlak seseorang. Safar pun penuh dengan kesulitan. Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّفَرٌ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ

“Safar adalah sepotong adzab.” (HR Al-Bukhari no 1804)

Sebaik dan secanggih apa pun sarana dan prasarana yang disiapkan, tetap saja orang yang ber-safar akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, orang yang ber-safar akan menemukan kesulitan dan keletihan, bahkan terkadang marabahaya. Karena itu, harus ada sikap saling membantu di antara para musafir. Jika seorang musafir memiliki akhlak yang mulia maka akan tampak kemuliaan akhlaknya saat bantuan dan pertolongannya dibutuhkan orang lain. Sebaliknya, jika seseorang berakhlak buruk maka meskipun dia berusaha menyembunyikannya di hadapan orang lain dan berusaha bergaya seakan-akan dia berakhlak mulia, saat ber-safar maka akan terbongkar akhlak buruknya itu. Terlebih lagi jika safar menempuh jarak yang jauh dan waktu yang lama.

Pernah ada seseorang yang memberikan persaksian di hadapan Umar bin Al-Khathab, maka Umar pun berkata, “Aku tidak mengenalmu, dan tidak me-mudharat-kan engkau meskipun aku tidak mengenalmu. Datangkanlah orang yang mengenalmu.”

Maka ada seseorang dari para hadirin yang berkata, “Aku mengenalnya, wahai Amirul Mukminin.”

Umar berkata, “Dengan apa engkau mengenalnya?”

Orang itu berkata, “Dengan keshalihan dan keutamaannya.”

Umar berkata, “Apakah dia adalah tetangga dekatmu, yang engkau mengetahui kondisinya di malam hari dan di siang hari serta datang dan perginya?”

“Tidak.”

“Apakah dia pernah bermuamalah denganmu berkaitan dengan dirham dan dinar, yang keduanya merupakan indikasi sikap wara’ seseorang?” tanya Umar lagi.

“Tidak.”

Umar berkata lagi:

فَرَفِيْقُكَ فِي السَّفَرِ الَّذِي يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ؟

“Apakah dia pernah menemanimu dalam safar, yang safar merupakan indikasi mulianya akhlak seseorang?”

Orang itu berkata, “Tidak.”

Umar menimpali, “Jika demikian engkau tidak mengenalnya.”

(Atsar ini dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil 8/260 no 2637)

Sungguh benar perkataan Umar, safar memang merupakan pengungkap akhlak seseorang. Betapa banyak orang yang nampaknya mulia dan berakhlak baik namun tatkala kita ber-safar bersamanya dalam waktu yang lama dan jarak perjalanan yang jauh, tatkala kita berhadapan dengan kesulitan dan butuh akan pengorbanan, maka nampak akhlaknya yang asli, akhlak yang buruk?

Sungguh kesempatan emas bagi saya untuk bisa ber-safar bersama Syaikh Abdurrozzaq di mana saya bisa menimba ilmu dari beliau, sekaligus mengetahui tabir akhlak beliau yang sesungguhnya. Dan, akhirnya saat itu pun tibalah, Senin 25 Muharam 1431 H/11 Januari 2010.



Memulai Safar

Sebelumnya, seperti biasa, Ahad sore beliau masih menyampaikan kajian di Radiorodja. Setelah menutup kajian, saya menyampaikan kepada kru Radiorodja bahwa esok hari tidak ada kajian, karena kami akan bersiap safar, mengingat jadwal keberangkatan pesawat jam 07.15 PM, langsung setelah shalat Maghrib, sementara pengajian biasanya baru berakhir jam 6 sore. Tentunya aku menyampaikan hal ini kepada kru Radiorodja tanpa seizin Syaikh.

Setelah saya menyampaikan kepada beliau hal tersebut dengan alasan persiapan safar, beliau pun berkata, “Tidak, besok tetap ada pengajian. Insya Allah waktunya cukup, dan ada orang lain yang akan mengurus permasalan boarding, jadi kita hanya tinggal berangkat.”

Keesokan harinya, saya ke rumah beliau dengan membawa barang-barang bawaan safar. Selepas shalat Asar, beliau meminta tolong salah seorang saudara beliau untuk membawa seluruh barang-barang tersebut sekalian mengurus permasalahan boarding, sementara kami tetap mengadakan pengajian. Barulah selepas itu kami beranjak menuju bandara.

Kami sampai di bandara sesudah adzan Maghrib. Syaikh bertanya, “Bukankah penerbangan international lokasinya di sana?”

“Sudah pindah ke lokasi yang lain, Syaikh,” jawab saya.

Maka, kami pun turun di lokasi yang lain untuk masuk ke ruang tunggu. Saat kami mau masuk, kami diberitahu petugas bandara bahwa itu adalah ruang tunggu penerbangan domestic. Adapun lokasi ruang tunggu penerbangan international justru benar yang ditunjukan oleh syaikh. Ada perasaan tidak enak dalam hati saya, namun Syaikh sama sekali tidak marah, apalagi menunjukkan kekesalan atas kesalahan saya tersebut.

Dari ruang tunggu penerbangan domestic menuju ruang tunggu penerbangan international, kami berjalan kaki cukup jauh. Padahal, tas koper yang dibawa Syaikh cukup berat, namun beliau tetap membawanya tanpa ada keluhan sama sekali. Setiba di ruang tunggu beliau melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Selepas shalat, saya mendekati beliau dan bertanya, “Syaikh, apa kita tidak menjamak shalat Maghrib dan Isya saja?”

“Tidak,” jawab beliau. “Shalat isya kita kerjakan di pesawat saja.”

Setelah itu, beliau pun shalat sunnah ba’da Maghrib dua rakaat.

Saat kami di ruang tunggu, saya bertanya, “Perlukah saya ceritakan mengenai dakwah di Indonesia, agar Syaikh punya gambaran tentang kondisi dakwah dan perpecahan yang ada di sana?”

“Aku rasa tidak perlu,” jawab beliau, “karena aku ke Indonesia bukan untuk memihak salah satu dari golongan yang ada. Aku ke Indonesia untuk silaturahmi dan mengunjungi Radiorodja. Apakah engkau suka, ya Firanda, ada seorang syaikh yang datang ke saudara-saudaramu yang berselisih denganmu lantas mereka menceritakan keburukan-keburukanmu kepada syaikh tersebut? Tentunya engkau tidak suka. Demikian juga, sebaiknya engkau tidak perlu menceritakan kondisi saudara-saudaramu yang berselisih denganmu. Toh, mereka tidak berselisih denganmu pada permasalahan akidah. Engkau dan mereka saling bersaudara di atas akidah yang satu.”

Saya pun terdiam. Perkataan Syaikh ini sungguh cerminan akhlak yang mulai. Sering saya mendengar beliau berkata, “Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia adalah sebagaimana perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه

“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.” (H.R. Muslim no 1844)

Praktik dari hadits ini, jika engkau ingin bermuamalah dengan kedua orang tuamu maka bayangkanlah bahwa engkau adalah orang tua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu. Apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermuamalah kepadamu, maka seperti itulah yang kaulakukan terhadap ibumu. Analogikanlah hal ini tatkala engkau ingin bermuamalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kauharapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.”

Mengenai jawaban Syaikh atas pertanyaan saya tadi, saya sudah menduga sebelumnya. Hanya saja saya memberanikan diri bertanya demikian karena ada dorongan dari sebagian teman-teman senior agar Syaikh juga mengerti akan hal ini, sehingga bisa mengusahakan adanya persatuan.

Beberapa menit berikutnya, saya bertanya lagi, “Ya Syaikh, sebagian orang ada yang menyatakan bahwa aku adalah kadzab (pendusta). Apakah aku berhak membela diri dan membantah tuduhan tersebut?”

“Wahai Firanda, jangan kau bantah dia, bagaimanapun dia adalah saudaramu se-aqidah,” jawab beliau. “Bahkan jika ada orang yang bertanya kepadamu tentang dia, maka tunjukkan bahwa engkau tidak suka untuk membantahnya dan tidak suka membicarakan tentangnya.”

Beliau terdiam sejenak, lalu melanjutkan nasihatnya, “Engkau bersabar, dan jika engkau bersabar percayalah suatu saat dia akan melunak dan akan menjadi sahabatmu.”

Saya jadi teringat tatkala ada seorang mahasiswa program pasca sarjana meminta nasehat kepada beliau perihal kedustaan yang dituduhkan kepadanya. Mahasiwa tersebut berkata, "Ya syaikh, sesungguhnya saya telah dikatakan sebagai seorang pendusta, dajjaal, dan khobiits oleh seseorang yang bermasalah denganku. Padahal orang tersebut telah merendahkan engkau dan merendahkan syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, serta menyatakan bahwa syaikh Ibnu Jibrin adalah imam kesesatan, dan lain-lainnya. Saya sudah mengajak orang itu untuk berdialog perihal tuduhan yang ia lontarkan kepadaku dengan syarat pembicaraan kita harus direkam, akan tetapi orang itu menolak dan berkata bahwa jika aku datang menemuinya untuk mengakui kesalahanku maka dia akan menerimaku di rumahnya, namun jika aku mendatanginya untuk mendebatnya maka dia akan mengusirku dan akan memboikot aku serta tidak akan memberi salam kepadaku jika bertemu denganku. Bahkan orang ini mendoakan keburukan kepadaku dengan perkataannya,

"قَاتَلَه اللهُ، وَأَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الكَذَّابِ الأَشِر وَسَيَكُونُ مِنْ مَزْبَلَةِ التَّارِيخ"

(Semoga Allah memeranginya, aku berlindung kepada Allah dari si pendusta yang sombong, dan dia akan menjadi sampah sejarah).

Demikianlah yaa syaikh perkataannya yang buruk yang dia lontarkan untukku, dan aku mendengarnya sendiri dengan kedua telingaku. Yang jadi masalah juga dia menyebarkan tuduhan tersebut di kalangan para da'i di negaraku. Apakah aku berhak untuk membela diriku dan menjelaskan keadaan yang sesungguhnya?, mengingat terlalu banyak ikhwan yang bertanya melalui telepon atau surat perihal masalah ini?.

Syaikh serta merta berkata, "Sekali-kali jangan kau bantah dia, selamanya jangan kau bantah dia!!. Apakah engkau ingin engkau yang membela dirimu sendiri?, ataukah engkau ingin Allah yang akan membelamu??!!". Lalu syaikh menunjukan dua buah hadits yang terdapat dalam kitab Al-Adab Al-Mufrod karya Al-Imam Al-Bukhori yang menjelaskan agar seseorang sejauh mungkin menjauhkan dirinya dari perdebatan dengan saudaranya. Hadits yang pertama:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَشْتُمُنِي وَهُوَ أَنْقَصُ مِنِّي نَسَبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ

Dari 'Iyaadl bin Himaar bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, bagaiamana pendapatmu jika ada seseorang mencelaku padahal nasabnya lebih rendah daripada nasabku?, maka Nabi berkata , "Dua orang yang saling mencela adalah dua syaitan yang saling mengucapkan perkataan yang batil dan buruk dan saling berdusta" (HR Ahmad 29/37 no 17489 dan Al-Bukhari dalam al-adab al-mufrod no 427 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

Syaikh berkata, "Hadits ini menunjukan bahwa dua orang yang bertikai dan saling mencaci maka disifati oleh Nabi dengan 2 syaitan. Bahkan Nabi berkata bahwa keduanya pendusta dan saling mengucapkan perkataan yang buruk, rendah dan batil. Orang yang membantah saudaranya pasti –mau tidak mau- akan terjerumus dalam kedustaan agar bisa membuat orang-orang benci terhadap musuhnya. Atau paling tidak dia tidak akan menjelaskan kejadian yang terjadi antara dia dan musuhnya sebagaimana mestinya, akan tetapi dia menyajikan kejadian itu seakan-akan dialah yang berada di pihak yang benar, dan dengan cara pengajian yang menjadikan para pendengar akan benci terhadap musuhnya.

Selain itu dia akan terjerumus dalam peraktaan-perkataan yang rendah dan kotor serta batil"

Adapun hadits yang kedua adalah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : اِسْتَبَّ رَجُلاَنِ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَّ أَحَدُهُمَا وَالآخَرُ سَاكِتٌ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ، ثُمَّ رَدَّ الآخرُ فَنَهَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيْلَ : نَهَضْتَ؟ قال : نَهَضَتِ المَلاَئِكَةُ فَنَهَضْتُ مَعَهُمْ. إِنَّ هَذَا مَا كَانَ سَاكِتًا رَدَّتِ المَلاَئِكَةُ عَلَى الَّذِي سَبَّهُ فَلَمَّا رَدَّ نَهَضَتِ المَلاَئِكَةُ

Dari Ibnu 'Abaas berkata, "Ada dua orang yang saling mencaci di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka salah seorang diantara keduanya mencela yang lainnya, sementara yang kedua diam (tidak membalas cacian tersebut), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk. Kemudian (akhirnya) yang keduapun membantah celaan tersebut, maka Nabipun berdiri beranjak pergi. Maka dikatakan kepada Nabi, "Kenapa engkau berdiri beranjak pergi?", Nabipun berkata, "Para malaikat beranjak pergi maka akupun bangkit untuk beranjak pergi bersama mereka. Sesungguhnya orang yang kedua ini tatkala diam dan tidak membantah celaan orang yang pertama maka para malaikat membantah celaan orang yang pertama yang mencacinya, dan tatkala orang yang ke dua membantah maka para malaikatpun beranjak pergi"

(HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod no 419, dan dinyatakan lemah oleh Syaikh Albani karena ada rowi yang bernama Abdullah bin Kaysaan, yang telah disifati oleh Ibnu Hajar dengan "صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا")

Syaikh berkata, "Jika engkau bersabar niscaya Allah yang akan membelamu, Allah berfirman

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا

"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman" (QS Al-Hajj : 38)

Jika engkau bersabar maka Allah pasti akan mengutus tentaranya untuk membelamu.

Perkaranya terserah engkau, apakah engkau yang akan membela dirimu sendiri, -yang artinya engkau menyerahkan urusanmu kepada makhluq yang sangat lemah yaitu engkau sendiri-, ataukah engkau menyerahkan urusanmu kepada Allah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu"

Syaikh melanjutkan perkataannya, "Sibukkan dirimu dengan berdakwah, dan jika ada yang bertanya kepadamu tentang permasalahan ini maka janganlah kau terpancing, tapi usahakan untuk mengingatkan si penanya agar sibuk dengan ilmu-ilmu yang bermanfa'at"

Beliau terdiam sejenak kemudian kembali berkata, "Kita sibuk dengan dakwah, urusan kita banyak, maka tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu. Akupun tidak senang kalau disampaikan kepadaku permasalahn-permasalahan seperti ini, karena aku ingin hatiku bersih. Dan jika aku bertemu dengan orang yang mejelek-jelekan aku maka aku tetap akan ramah terhadap dia, karena aku tidak mendengar pembicaraannya tentangku".

Sayapun jadi teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَا يُبَلِّغْنِي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِي شَيْئًا فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ

Janganlah seseorang menyampaikan kepadaku tentang seseorang yang lain dari para sahabatku, sesungguhnya aku suka untuk bertemu kalian dalam keadaan hatiku selamat (bersih)

(HR Ahmad no 3759 dan dihasankan oleh syaikh Ahmad Syakir, namun didho'ifkan oleh syaikh Al-Albani)

Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, "Hadits ini lemah, akan tetapi maknanya benar, karena jika seseorang disebutkan kejelekannya kepadamu maka akan ada sesuatu di hatimu terhadap orang tersebut, meskipun orang tersebut bermu'amalah dengan baik kepadamu. Akan tetapi jika engkau berinteraksi dengannya dan engkau tidak mengetahui keburukan-keburukan orang tersebut dan dan tidak ada bahayanya bermu'amalah dengan orang tersebut, maka ini merupakan perkara yang baik. Bahkan bisa jadi dia lebih menerima nasehat darimu. Hati-hati itu saling berjauhan sebelum berjauhnya tubuh. Ini adalah permasalahan yang pelik yang nampak jelas bagi orang yang berakal setelah perenungan" (Al-Qoul Al-Mufid 1/52-53)

Saya teringat saat musim fitnah tahdzir-mentahdzir di kota Madinah sekitar tahun 2002, sempat tersebar tuduhan bahwa Syaikh adalah mubtadi’. Tuduhan tersebut dilontarkan oleh sebagian syaikh yang lain yang juga berakidah yang lurus. Bahkan di antara tuduhan yang sangat buruk terhadap Syaikh, sebagaimana pernah saya baca langsung, Syaikh dikatakan terpengaruh paham sufiah, dan Syaikh sudah memengaruhi ayah beliau, Syaikh Abdul Muhsin….

Allahu akbar! Ini tentulah tuduhan yang sangat buruk. Mungkinkah Syaikh Abdurrozzaq, seorang professor di bidang akidah, terpengaruh paham sufi? Bahkan memasukkan paham tersebut ke ulama besar sekaliber Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad? Apakah karena perhatian beliau terhadap akhlak dan sikap beliau yang tidak suka membicarakan kejelekan dan kesalahan orang lain lantas beliau dikatakan sufi?

Namun, subhanallah, Syaikh sama sekali tidak menggubris tuduhan-tuduhan tersebut. Seakan-akan beliau tidak tahu sama sekali, seakan-akan tuduhan tersebut tidak ada sama sekali.

Demikianlah akhlak seorang 'alim sekelas beliau, adapun kita memang tidak sanggup untuk bersabar tatkala kita dituduh dengan tuduhan yang tidak benar. Terlebih-lebih lagi tatkala tuduhan tersebut menyangkut agama kita seperti "pendusta" dan sebagainya. Terlebih lagi jika kita dikatakan "dajjaal, khobiits". Sakit terasa hati ini, dan inginnya membalas terhadap orang yang menuduh kita tersebut. Didukung lagi jika datang syaitan kemudian mengompori kita untuk menggubris tuduhan tersebut dan untuk membantahnya. Syaitan akan berkata, "Jika engkau tidak membanah tuduhan tersebut, maka orang-orang akan mengira bahwa tuduhan tersebut benar adanya".

Namun sungguh benar, orang yang paling bahagia adalah orang yang paling ikhlas, yang hanya mencari penilaian dan komentar Allah -Yang Maha kuasa atas segala sesuatu- dan tidak memperdulikan komentar manusia jika Allah telah mengetahui bahwasanya ia berada di atas kebenaran. Allahul Musta'aan wa ilaihi tuklaan.

Di antara nasihat beliau yang berkaitan dengan masalah bantah membantah, adalah nasihat beliau tentang kenyataan yang terjadi di medan dakwah tatkala seseorang membantah yang lain akan tetapi tidak dengan adab yang benar. Beliau membacakan sebuah perkataan emas yang pernah dituliskan oleh ulama Al-Imam Ibnu Syaikh Al-Hazzamiyin (wafat 711 H) dalam kitab yang berjudul "رِحْلَةُ الإِمَامِ ابْنِ شَيْخِ الحَزَّامِيِيْنَ مِنَ تَصَوُّفِ الْمُنْحَرِفِ إِلَى تَصَوُّفِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ والأَثَرِ"

Kitab tersebut menceritakan tentang perjalanan Al-Imam Ibnu Syaikh Al-Hazzamiyin dari pemahaman sufi yang menyimpang hingga mendapatkan hidayah dan mengenal pemahaman ahlus sunah.

Ibnu Syaikh Al-Hizamiyin berkata, “Ilmu ini (menjelaskan dan membantah kesesatan pihak yang lain-pen) hukumnya haram bagi orang yang berkeinginan untuk menjatuhkan harga diri manusia dalam rangka memuaskan kehendaknya yang rusak atau untuk mendukung hawa nafsu yang diikuti. Dan ilmu ini hukumnya mubah (boleh) bahkan mustahab bagi orang yang hendak menjaga dirinya agar tidak terpengaruh kesalahan-kesalahan dan terjerumus dalam ketergelinciran. Ilmu ini tidak boleh dan tidak mustahab bagi orang yang hanya ingin mencela dan mengejek-ngejek. Sehingga menjadikan pembicaran kesalahan orang lain sebagai bahan tertawaan dan candaan bukan sebagai sarana untuk mengenal kesalahan (agar tidak terjerumus) dan sebagai pelajaran. Akhirnya ia pun mengungkap tirai yang menutup kesalahan-kesalahan orang lain tanpa niat yang benar. Padahal setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan niatnya.” (Rihlatu Al-Imam… hal 16).

Syaikh mengomentari perkataan ini, “Betapa banyak di antara kita yang butuh akan nasihat yang sangat berharga ini.”

Sungguh benar komentar Syaikh. Kenyataan pahit yang ada di lapangan, tatkala sebagian kita mengkritik sebagian yang lain dengan kritikan yang benar namun cara kritik yang tidak benar, banyak di antara kita yang menjadikan majelis kritik sebagai majelis tawa dan humor, bahkan ejekan dan cercaan. Saudara sendiri dijadikan bahan lelucon. Apa yang harus kita lakukan terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه

“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”

Apakah ada di antara kita yang suka menjadi bahan lelucon dan ejekan?

Bagaimana pula sikap kita dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri."

Bukankah lafazh (ما) dalam kalimat hadits ini: (مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) adalah isim maushul? Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal)?

Marilah kita renungkan penjelasan Syaikh Shalih Alu-Syaikh berikut ini:

“Hadits di atas mencakup akidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki akidah yang benar seperti akidah yang ia yakini.

Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib.

Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas akidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunah, yaitu akidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib.

Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis sikap menjauhi perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktik suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktik suap, hingga dia merasa unggul, lebih shalih dari saudaranya tersebut, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya. Dia telah berdosa.” (dari ceramah beliau yang berjudul Huququl Ukhuwwah)

Demikian juga pada kondisi di mana kita terzhalimi, saat kita tertuduh dengan tuduhan-tuduhan kosong tanpa bukti, maka hendaknya kita tetap mempraktikkan hal ini. Lihatlah bagaimana sikap Syaikh, meskipun beliau sering ditahdzir bahkan dituduh mubtadi' akan tetapi beliau tidak pernah membalas. Bahkan, beliau tidak pernah menyebutkan kejelekan pihak yang mentahdzir. Beliau tidak suka jika ada yang memancing beliau untuk membantah tuduhan tersebut.

Ibnu Rajab berkata: “Hadits yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira. Hendaknya ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengungguli atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allah berikan kepadanya, tanpa mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun" (Jaami' al-'Ulum wal Hikam I/306)

bersambung ...
Artikel: www.firanda.com

Postingan terkait: