- Penulis Buku:
Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
- Penerjemah:
Abu Muawiyah Hammad
- Editor:
Mustolah Maufur, M.A.
- Halaman Buku:
xiv + 294 hlm
- Ukuran Buku:
15,5 x 24,5 cm
- Jenis:
Hard Cover
Hrga : Rp 50.000,-
Terdapat ungkapan mengatakan, Siapa Anda adalah apa yang Anda makan. Bagaimana Anda juga apa yang Anda makan Makanan demikian penting dalam kehidupan manusia sepanjang masa sehingga dibicarakan oleh semua orang dalam berbagai stratanya. Sejumlah jenis makanan dianjurkan untuk dikonsumsi sedangkan sejumlah lainnya diwanti-wanti agar tidak dikonsumsi baik karena pantangan kesehatan maupun karena pantangan kepercayaan. Dalam Islam, asupan makanan yang dikonsumsi seorang Muslim tidak hanya harus baik menurut standar higinis (thayyib) melainkan juga baik menurut substansi dan cara memperoelehnya (halal). Selain menjadi prasyarat asupan bagi seorang Muslim, kethayyiban ~alias empat sehat lima sempurna~, ia juga dituntut agar mengkonsumsi yang halal. Sebab, makanan yang secara higinis memenuhi standar empat sehat lima sempurna memang dapat menyehatkan tubuh tetapi jika tidak halal baik substansi maupun cara mendapatkannya akan dapat memberi pengaruh pada kemajalan jiwa dan penyimpangan perilaku.
Terkait dengan hal ini, kiranya patut diteladani dari kisah dua orang ulama besar. Yaitu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal biasa menceritakan kepada putrinya perihal kemuliaan Imam asy-Syafii, ilmu dan ketakwaannya sehingga kesan yang tercipta begitu kuat dalam benaknya dan ingin sekali melihatnya. Suatu hari ia mengundang Imam asy-Syafii untuk berkunjung ke rumahnya. Setelah makan malam tamu kehormatannya itu masuk ke kamar tidur, berbaring di atas kasur dan tidur.
Selama kunjungannya itu, ternyata putri Imam Ahmad memperhatikan gerak geriknya untuk mengetahui gambaran yang sebenarnya, lalu bertanya: Ayah, diakah Imam asy-Syafii yang seringkali engkau ceritakan tentang kebaikan dan ketakwaannya kepadaku?€ Imam Ahmad menjawab: Benar, dialah orangnya.†Putrinya seakan menyanggah seraya berkata lagi: Tetapi aku mengamati tiga hal yang aku sayangkan terhadap dirinya. Ketika kami menghidangkan makanan, ternyata makannya banyak; ketika masuk kamar ia tidak melakukan shalat tahajud; dan ia menjadi imam pada shalat Shubuh tanpa berwudhu!
Mendengar penuturan putrinya, dalam benak Imam Ahmad timbul penasaran lalu menanyakan hal itu kepada Imam asy-Syafii sendiri ternyata dibenarkan seraya menjawab: Wahai Imam Ahmad, aku makan banyak karena mengetahui bahwa makanan kalian itu halal dan baik apalagi engkau adalah seorang laki-laki mulia. Makanan orang mulia dan halal adalah obat, berbeda dengan makanan penjahat dan orang kikir, dapat menjadi penyakit. Jadi, aku makan tidak untuk memuaskan selera, melainkan untuk berobat dengan makananmu. Adapun mengenai malam yang aku lewatkan tanpa melakukan shalat malam, karena saat merebahkan kepalaku untuk tidur, sepanjang malam aku melihat seakan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada di depan mataku, sehingga aku menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fiqih yang sangat ber-manfaat bagi kaum Muslimin. Dengan demikian tidak ada kesempatan bagiku untuk melakukan shalat sunnah. Berkenaan dengan shalat Shubuh tanpa wudhu, sebenarnya karena sepanjang malam aku tidak tidur sama sekali dan tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhuku maka aku menunaikan shalat Shubuh dengan wudhu isya`
Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
- Penerjemah:
Abu Muawiyah Hammad
- Editor:
Mustolah Maufur, M.A.
- Halaman Buku:
xiv + 294 hlm
- Ukuran Buku:
15,5 x 24,5 cm
- Jenis:
Hard Cover
Hrga : Rp 50.000,-
Terdapat ungkapan mengatakan, Siapa Anda adalah apa yang Anda makan. Bagaimana Anda juga apa yang Anda makan Makanan demikian penting dalam kehidupan manusia sepanjang masa sehingga dibicarakan oleh semua orang dalam berbagai stratanya. Sejumlah jenis makanan dianjurkan untuk dikonsumsi sedangkan sejumlah lainnya diwanti-wanti agar tidak dikonsumsi baik karena pantangan kesehatan maupun karena pantangan kepercayaan. Dalam Islam, asupan makanan yang dikonsumsi seorang Muslim tidak hanya harus baik menurut standar higinis (thayyib) melainkan juga baik menurut substansi dan cara memperoelehnya (halal). Selain menjadi prasyarat asupan bagi seorang Muslim, kethayyiban ~alias empat sehat lima sempurna~, ia juga dituntut agar mengkonsumsi yang halal. Sebab, makanan yang secara higinis memenuhi standar empat sehat lima sempurna memang dapat menyehatkan tubuh tetapi jika tidak halal baik substansi maupun cara mendapatkannya akan dapat memberi pengaruh pada kemajalan jiwa dan penyimpangan perilaku.
Terkait dengan hal ini, kiranya patut diteladani dari kisah dua orang ulama besar. Yaitu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal biasa menceritakan kepada putrinya perihal kemuliaan Imam asy-Syafii, ilmu dan ketakwaannya sehingga kesan yang tercipta begitu kuat dalam benaknya dan ingin sekali melihatnya. Suatu hari ia mengundang Imam asy-Syafii untuk berkunjung ke rumahnya. Setelah makan malam tamu kehormatannya itu masuk ke kamar tidur, berbaring di atas kasur dan tidur.
Selama kunjungannya itu, ternyata putri Imam Ahmad memperhatikan gerak geriknya untuk mengetahui gambaran yang sebenarnya, lalu bertanya: Ayah, diakah Imam asy-Syafii yang seringkali engkau ceritakan tentang kebaikan dan ketakwaannya kepadaku?€ Imam Ahmad menjawab: Benar, dialah orangnya.†Putrinya seakan menyanggah seraya berkata lagi: Tetapi aku mengamati tiga hal yang aku sayangkan terhadap dirinya. Ketika kami menghidangkan makanan, ternyata makannya banyak; ketika masuk kamar ia tidak melakukan shalat tahajud; dan ia menjadi imam pada shalat Shubuh tanpa berwudhu!
Mendengar penuturan putrinya, dalam benak Imam Ahmad timbul penasaran lalu menanyakan hal itu kepada Imam asy-Syafii sendiri ternyata dibenarkan seraya menjawab: Wahai Imam Ahmad, aku makan banyak karena mengetahui bahwa makanan kalian itu halal dan baik apalagi engkau adalah seorang laki-laki mulia. Makanan orang mulia dan halal adalah obat, berbeda dengan makanan penjahat dan orang kikir, dapat menjadi penyakit. Jadi, aku makan tidak untuk memuaskan selera, melainkan untuk berobat dengan makananmu. Adapun mengenai malam yang aku lewatkan tanpa melakukan shalat malam, karena saat merebahkan kepalaku untuk tidur, sepanjang malam aku melihat seakan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada di depan mataku, sehingga aku menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fiqih yang sangat ber-manfaat bagi kaum Muslimin. Dengan demikian tidak ada kesempatan bagiku untuk melakukan shalat sunnah. Berkenaan dengan shalat Shubuh tanpa wudhu, sebenarnya karena sepanjang malam aku tidak tidur sama sekali dan tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhuku maka aku menunaikan shalat Shubuh dengan wudhu isya`
Ada beberapa hal yang patut dicatat di sini, di antaranya adalah bahwa, makanan halal dan thayyib akan mendatangkan berkah. Yaitu bahwa, berkah (barakah) yang secara harfiah berarti suatu kebaikan yang membawa kebaikan lain (khairun ya`ti bi khairin) dalam kaitan makanan yang halal dan thayyib berdampak positip terhadap jiwa dan perilaku manusia. Sebaliknya, makanan yang khabits atau diperoleh melalui cara yang tidak halal akan berdampak negatif. Inilah rizki halalan thayyiban yang diperintahkan di banyak ayat dan surah berbeda dalam al-Qur`an yang mengandung berkah namun sering kita abaikan, yang hakikatnya mengabaikan perintah Al-Quran.
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kalian benar-benar hanya kepada-Nya menyembah.
Menikmati karunia berupa makanan halalan thayyiban kemudian dilanjutkan dengan bersyukur menjadi salah satu petanda penyembahan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Maka sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hanya ada dua pilihan:
Setelah yang halal dan thayyib, tidak ada lagi selain yang haram dan buruk(Al-Bukhari bab al-Asyribah)
Menikmati karunia berupa makanan halalan thayyiban kemudian dilanjutkan dengan bersyukur atas karunia tersebut menjadi salah satu indikasi penyembahan kepada Allah Yang Maha Pemurah.
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kalian benar-benar hanya kepada-Nya menyembah.
Menikmati karunia berupa makanan halalan thayyiban kemudian dilanjutkan dengan bersyukur menjadi salah satu petanda penyembahan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Maka sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hanya ada dua pilihan:
Setelah yang halal dan thayyib, tidak ada lagi selain yang haram dan buruk(Al-Bukhari bab al-Asyribah)
Menikmati karunia berupa makanan halalan thayyiban kemudian dilanjutkan dengan bersyukur atas karunia tersebut menjadi salah satu indikasi penyembahan kepada Allah Yang Maha Pemurah.