Fenomena pengingkaran terhadap sunnah semakian menggeliat di masa kini. Berbagai media telah berjasa besar untuk propaganda tersebut. Semakin banyak kader-kader yang disiapkan untuk menyerang hadits Nabi. Mereka menempuh beberapa jalur untuk menuju ke terminalnya, sekalipun berbeda jalannya namun tujuan tetap sama.
Imam asy-Syathibi menjelaskan metode ahli bid’ah tersebut dengan ucapannya:
“Mereka menolak hadits-hadits yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan dan madzhabnya. Mereka menuduhnya tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh dalil. Karenanya, mereka mengingkari adanya siksa kubur, jembatan, timbangan, melihat Allah di akherat. Demikian pula hadits lalat yang menerangkan bahwa salah satu sayapnya terdapat penyakit dan dalam sayap lainnya terdapat obat penawarnya dan lalat ini mendahulukan sayap yang mengandung penyakit, dan hadits-hadits lainnya yang shahih dan diriwayatkan dengan benar.
Terkadang mereka mengkritik para sahabat, tabi’in dan para pakar hadits yang telah disepakati tentang keadilan dan keahliannya dalam meriwayatkan hadits. Dan ini hanya sekedar alasan untuk menentang orang-orang yang dianggap bertentangan dengan madzhab mereka. Dan dalam kesempatan lain, mereka menolak fatwa para ulama ini dan mencomoohkannya di hadapan masyarkat awam agar mereka tidak mengikuti sunnah dan menjauhi para pembela sunnah”.[2]
Nah, diantara hadits yang kena getahnya adalah hadits lalat, dimana oleh sebagian kalangan hadits ini diklaim sebagai hadits yang palsu, tidak sesuai dengan rasio, hanya diriwayatkan oleh orang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Benarkah suara-suara sumbang tersebut?! Atauah hanya sekedar ucapan yang terlontar tiada kendali?! Pembahasan berikut akan mencoba memberikan jawabannya.
A. TEKS HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah selalu memberkahimu- bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh sejumlah para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka dari beberapa sahabat. Berikut perinciannya:
1. Hadits Abu Hurairah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Apabila lalat jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya”.
SHAHIH. Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (3320, 5782), Ahmad dalam Musnadnya (2/229, 230, 246, 263, 340, 355, 388, 398, 443), Abu Dawud (3844), Ibnu Majah (3505), Ad-Darimi (2045), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (105), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1243, 5226), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (1/252), Ma’rifah Sunan wal Atsar 1/317 dan al-Khilafiyyat (933), At-Thahawi dalam Musykil Atsar (3291, 3295), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (2813), Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa (55), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taali Tasybih (267), Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 1/337, adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala’ 6/322, Al-Fakihi dalam Fawaidnya (276), Ibnu Sakan -sebagaimana dalam At-Talkhis Habir Ibnu Hajar (1/38)-, dari beberapa jalan yang banyak dari Abu Hurairah.
Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah 11/259: “Hadits ini shahih”.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid 1/337: “Hadits ini diriwayatkan dari jalur yang amat banyak sekali dari sahabat Abu Sa’id dan Abu Hurairah. Semuanya shahih”.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 6/322: “Hadits ini sanadnya hasan lagi tinggi”.
Al-Albani berkata dalam Irwaul Ghalil 1/194: “Shahih”.
Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan ilmu baginya- berkata:
“Hadits ini tidak punya cacat sedikitpun. Tidak ada satupun ahli hadits yang mengkritik dan melemahkannya, bahkan hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh sejumlah para imam ahli hadits, terutama Imam Bukhari, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban dan Ibnu Jarud yang memilih hadits ini dalam kitab shahih mereka”.
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ : إِنَّ أَحَدَ جَنَاحَيْ الذُّبَابِ سَمٌّ وَالآخَرَ شِفَاءٌ فَإِذَا وَقَعَ فِيْ الطَّعَامِ فَامْقُلُوْهُ فَإِنَّهُ يُقَدِّمُ السَّمَّ وَيُؤَخِّرُ الشِّفَاءَ
Dari Abu Said Al-Khudri dari Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pada salah satu diantara dua sayap lalat itu terdapat racun dan syap lainnya terdapat obat penawarnya. Apabila lalat jatuh di makanan maka celupkanlah karena lalat mengedepankan racun dan mengakhirkan obat penawarnya”.
SHAHIH. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (3/24, 67), Ibnu Majah (3504), Nasa’i (4259), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (1/253), At-Thayyalisi dalam Musnadnya (2188), Abu Ya’la dalam Musnadnya (2/65) dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1244) dan At-Tsiqat (2/102), Abu Ubaid dalam Gharib Hadits (2/214-215), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (2815), Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab (882), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (3289, 3290).
Ibnu Qutaibah berkata dalam Ta’wil Mukhtalif Hadits hal. 429: “Hadits ini shahih”.
Syaikh Al-Albani berkata dalam ash-Shahihah 1/95: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya terpercaya, perawi Bukhari Muslim kecuali Sa’id bin Khalid Al-Qaridhi, dia seorang yang shaduq (hasan haditsnya -pent) sebagaimana dikatakan imam Ad-Dzahabi dan Al-Asyqalani”.
Abu Ishaq al-Huwaini berkata dalam Takhrij Kitab Al-Amradh wal Kaffarat karya adh-Dhiya’ hal. 124: “Sanadnya kuat”.
3. Hadits Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً
Dari Anas bahwasanya Nabi bersabda: “Apabila lalat jatuh pada bejana salah satu diantara kalian, maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan sayap lainnya terdapat obat”.
SHAHIH. Diriwayatkan At-Thabrani dalam Al-Aushat (5891), Al-Bazzar (2866) dan Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh Kabir sebagaimana dalam At-Talkhis (1/38), Ibnu Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalif Hadits hal. 429 dan diisyaratkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya (2045).
Al-Haitsami dalam Majma’ Zawa’id (5/47): “Diriwayatkan Al-Bazzar dan para perawinya seluruhnya terpercaya dan diriwayatkan At-Thabrani dalam Al-Aushat”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (10/250): “Dikeluarkan Al-Bazzar dan para perawinya terpercaya”. Beliau juga berkata dalam At-Talkhis (1/38): “Sanadnya shahih”. Hal ini disetujui oleh Imam Syaukani dalam Nailul Authar (1/55) dan Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah (1/96).
4. Hadits Ka’ab al-Ahbar
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dan diriwayatkan dari Qaotadah dari Anas dari Ka’ab al-Ahbar. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh Kabir dalam bab riwayat sahabat dari tabi’in. Sanadnya shahih”.[3]
5. Hadits Ali bin Abi Thalib
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar.[4]
B. ARGUMEN PARA PENGKRITIK
Sebagian orang mementahkan hadits ini dengan argumen yang sangat lemah sekali, bahkan lebih lemah daripada sarang laba-laba.
Seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 41)
Berikut komentar para pengkritik tersebut:
1. Dr. Hasan At-Thurabi dalam ceramahnya pada tanggal 12 Agustus 1982 M kepada para mahasisiwi di universitas Al-Khurthum mengatakan tentang hadits lalat ini: “Ini adalah masalah kedokteran. Perkataan dokter kafir lebih dipercaya daripada perkataan Nabi karena memang masalah ilmu kedokteran ini bukanlah bidangnya (Nabi)”. [5]
2. Mahmud Abu Rayyah[6] dalam Adhwa’ Islamiyyah[7] hal. 199 mengkritik hadits pembahasan dengan alasan karena hadits ini hanya diriwayatkan dari Abu Hurairah saja.
3. Abdul Waris Al-Kabir dalam Majalah Al-Arabi volume 82 hal. 144 kolom “Anda Bertanya Kami Menjawab” ketika ditanya tentang keabsahan hadits ini, dia menjawab: “Adapun hadits tentang lalat, dimana pada sayapnya ada penyakit serta obat penawarnya adalah hadits yang dha’if (lemah), bahkan secara akal hadits ini hanyalah dibuat-buat belaka. Sebab, sudah kita maklumi bersama bahwa lalat itu biasanya hinggap di tempat kotor dan membawa kotoran… Tidak ada seorang dokterpun yang mengatakan bahwa dalam sayap lalat itu ada obatnya. Hanya pembuat hadits palsu ini saja yang mengatakan hal itu. Seandainya hadits itu shahih, tentunya akan disingkap oleh ilmu kodekteran modern yang telah sepakat akan bahaya lalat dan menganjurkan untuk memberantasnya “. [8]
5. Orang-orang Syi’ah menolak hadits ini karena menurut mereka hadits ini hanyalah buatan Abu Hurairah saja. Buktinya hanya dia yang meriwayatkan hadits ini, tidak ada sahabat lainnya.
Dengan uraian di atas, dapat kita simpulkan argumen para pengingkar hadits ini dalam beberapa point berikut:
Hadits ini hanya dibuat-buat saja.
Kesendirian riwayat Abu Hurairah.
Ilmu kedoteran belum menyingkapnya.
Tidak masuk akal.
C. BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT PARA PENGINGKAR HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah selalu merahmatimu- bahwa tidak ada satu syubhatpun yang dilontarkan oleh para penyeleweng melainkan ahli haq dan pembela sunnah memiliki jawabannya karena Allah pasti memenangkan mereka.
Tidaklah mereka dating keadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
(QS. Al-Furqon: 33)
Demikian juga syubuhat-syubuhat di atas, ternyata dalam timbangan ahli hadits hanyalah seperti bangunan yang siap untuk diruntuhkan berkeping-keping dengan senjata hujjah yang kuat.
Pertama: Anggapan mereka bahwa hadits ini hanya dibuat-buat
Jawaban: Ini merupakan kelancangan yang sangat. Karena hadits ini telah diriwayatkan oleh para ulama’ ahli hadits yang terpercaya dalam kitab-kitab mereka sebagaimana penjelasan di atas. Salah satunya adalah imam ahli hadits besar, Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya yang diakui oleh umat dan direstui mereka semua. Imam Nawawi berkata dalam Muqaddimah Syarh Shahih Muslim (1/24):
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ عَلَى أَنَّ أَصَحَّ الْكُتُبِ بَعْدَ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ الصَّحِيْحَانِ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَتَلَقَّتْهُمَاالأُمَّةُ بِالْقَبُوْلِ. وَكِتَابُ الْبُخَارِيِّ أَصَحُّهُمَا وَأَكْثَرُهُمَا فَوَائِدَ وَمَعَارِفَ ظَاهِرَةً وَغَامِضَةً
Para ulama semoga Allah merahmati mereka- telah bersepakat bahwa kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an yang mulia adalah dua kitab shahih yaitu Bukhari dan Muslim serta diterima oleh umat. Dan kitab Bukhari lebih shahih dan lebih banyak faedah dan pengetahuannya secara nampak dan tersembunyi.
Cukuplah sebagai hujjah bahwa tidak ada satupun ahli hadits yang melemahkan atau mengkritik hadits ini, karena mereka semua mengetahui bahwa hadits ini mencapai derajat yang sangat istimewa keabsahannya. Bahkan sebaliknya, orang-orang yang menyatakan bahwa hadits ini hanya dibuat-buat tidak dapat mendatangkan bukti akurat tentang pernyataannya.[9]
Sesungguhnya tindakan gegabah dalam menolak hadits dengan cara seperti ini merupakan serangan nyata terhadap kaum muslimin. Bagaimana tidak?! Tidak-kah mereka menyadari bahwa konsekuansi dari tindakan ini adalah mencela para perawi terpercaya dari kalangan salaf shalih dan menuding mereka dengan kebohongan, penipuan dan kejahilan?!! Tahukah anda kebohongan kepada siapa? Berbohong kepada Nabi yang merupakan dosa yang amat besar. Saudaraku! Sesungguhnya para ulama salaf shalih adalah generasi yang paling mulia, berakhlak mulia, sangat takut kepada Allah. Lantas, setelah itu mereka dituding berbohong kepada Nabi?!! Hanya kepada Allah kita serahkan urusan kita[10].
Kedua: Anggapan mereka bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah saja
Jawaban: Ini merupakan kejahilan mereka tentang ilmu hadits. Sebab hadits ini bukan hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah saja bahkan didukung oleh riwayat Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik sebagaimana penjelasan di atas.
Aduhai, katakanlah padaku: “Apakah mereka tahu bahwa Abu Hurairah tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini -sekalipun kalau sendirian juga tetap dijadikan hujjah- ataukah mereka tidak mengetahuinya?!”
Bila mereka mengetahuinya, lantas mengapa mereka mempersoalkan riwayat Abu Hurairah dan menipu umat dengan mengatakan bahwa Abu Hurairah sendirian dalam riwayat hadits ini?!
Dan bila mereka tidak mengetahuinya, lantas mengapa mereka tidak mau bertanya kepada ahli hadits dan percaya kepada perkataan mereka?! Alangkah indahnya ucapan seorang:
إِنْ كُنْتَ لاَ تَدْرِيْ فَتِلْكَ مُصِيْبَةٌ وَإِنْ كَُنْتَ تَدْرِيْ فَالْمُصِيْبَةُ أَعْظَمُ
Bila engkau tak tahu, maka itu merupakan musibah
Dan bila engkau mengetahui, maka musibahnya lebih dahsyat.
Mengapa mereka begitu benci setengah mati terhadap sahabat Abu Hurairah, seorang sahabat yang dido’akan Nabi agar kuat ingatannya?! Mengapa mereka tidak menghormati seorang sahabat yang menyibukkan diri siang malam untuk menghafal hadits-hadits Nabi sehingga beliau tidak disibukkan oleh pertanian dan perdagangan?!
Wahai saudaraku, ketahuilah barangsiapa yang mencela sahabat Abu Hurairah, maka sesungguhnya dia ingin merusak aqidah Islamiyyah. Karena tujuan utama dari celaan mereka terhadap dirinya, bukanlah hanya pribadi Abu Hurairah saja, namun lebih dari itu mereka ingin merusak agama Islam. Sebab, apabila Abu Hurairah telah berhasil dicerca, maka ribuan hadits -yang merupakan sumber hukum agama- tentang Islam akan termentahkan[11]. Semoga Allah merahmati imam Abu Zur’ah yang telah mengatakan:
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيْقٌ, وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُوْلَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ, وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ, وَإِنَّمَا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرَحُوْا شُهُوْدَنَا لِيُبْطِلُوْا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ, وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ.
Apabila engkau mendapati orang yang mencela salah satu sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa dia adlah seorang zindiq (munafiq). Hal itu karena rasulullah adalah benar dan Al-Qur’an juga benar menurut (prinsip) kita. Dan orang yang menyampaikan Al-Qur;an dan sunnah adalah para sahabat Nabi. Dan par pencela para saksi kita (sahabat) hanyalah bertujuan untuk menghancurkan Al-Qur’an dan sunnah. Mencela mereka lebih pantas. Mereka adalah orang-orang zindiq.[12]
Berikut ini kami nukilkan tiga komentar ulama’ terhadap orang yang menolak hadits Abu Hurairah:
1. Imam Al-Hakim menukil perkataan imam Ibnu Khuzaimah: “Sesungguhnya orang yang mencela Abu Hurairah guna menolak haditsnya, tidak lain kecuali orang yang dibutakan hatinya oleh Allah sehingga mereka tidak memahami hadits-hadits Nabi. Orang kelompok Jahmiyyah menolak riwayat Abu Hurairah yang bertentangan dengan faham kekufuran mereka dengan mencela dan menuduhnya secara dusta dan bohong untuk menipu orang-orang awam yang bodoh. Orang kelompok khawarij yang menghalalkan darah kaum muslimin dan tidak taat terhadap khalifah/imam tatkala mendengarkan riwayat Abu Hurairah dari Nabi yang tidak sesuai dengan faham sesatnya, tiada cara lain untuk menghujatnya kecuali dengan senjata pamungkasnya; mencela Abu Hurairah…Demikian pula orang jahil yang sok pintar fikih tatkala mendengar hadits Abu Hurairah yang bertentangan dengan madzhab yang dianutnya dengan taklid buta/membeo, dia mencela pribadi Abu Hurairah dan mementahkan haditsnya yang tidak sesuai dengan madzabnya dan memakai haditsnya yang sesuai dengan madzhabnya. Sebagian golongan telah mengingkari hadits-hadits riwayat Abu Hurairah yang mereka tidak fahami maksudnya…”[13]
2. Imam Dzahabi menceritakan dari Al-Qadhi Abu Thayyib, katanya: “Suatu kali, kami pernah ta’lim (pengajian) di masjid Jami’ Al-Manshur lalu tiba-tiba datang seorang pemuda dari Khurasan menanyakan perihal masalah “Al-Musharrah” serta meminta dalilnya sekaligus. Pertanyaan pemuda itupun dijawab dengan membawakan hadits Abu Hurairah tentangnya. Pemuda yang bermadzhab Hanafiyyah itu mengatakan dengan nada mencela: “Abu Hurairah tidak diterima haditsnya!!!” Belum selesai ngomongnya, kemudian ada ular besar yang menjatuhinya dari atap masjid. Melihatnya, manusiapun berlarian ketakutan. Ular tersebut terus mengejar pemuda tadi yang sedang berlari. Dikatakan kepadanya: “Taubatlah! Taubatlah!”. Pemuda itu mengatakan: “Saya bertaubat”. Akhirnya, ular itupun hilang tiada membawa bekas”.
Imam Dzahabi berkomentar: “Sanadnya, para tokoh imam. Abu Hurairah merupakan sosok sahabat yang sangat kuat hafalannya terhadap hadits Nabi secara perhuruf dan beliau telah menyamapaikan hadits tentang “Al-Musharrah” secara lafadhnya. Maka wajib bagi kita untuk mengamalkannya. Inilah pokok masalah”.[14]
3. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari sebagain Hanafiyyah tatkala menolak hadits dengan alasan karena diriwayatkan Abu Hurairah: “Perkataan seperti ini hanyalah merugikan diri sendiri. Rasanya, cukup hanya diceritakan begitu saja tanpa harus susah payah membantahnya”.[15]
Ketiga: Alasan mereka bahwa ilmu kedokteran belum menyingkapnya
Jawaban: Syaikh Al-Allamah Abdur Rahman bin Yahya Al-Mua’llimi berkata ketika membantah Abu Rayyah: “Seluruh ahli kedokteran mengakui bahwa mereka tidak mengilmui segala sesuatu. Karenanya, mereka selalu mengadakan penelitian dan penyelidikan satu demi satu. Lantas mengapa Abu Rayyah dan orang-orang semisalnya tidak percaya kalau Allah mengajarkan pada rasul-Nya ilmu yang belum dijangkau oleh ilmu kedokteran padahal Sang Pencipta dan Pengatur adalah pembuat syari’at?!!”. [16]
Sebenarnya hadits ini tidak bertentangan sama sekali dengan ilmu kedokteran bahkan mendukungnya karena Nabi menginformasikan bahwa dalam sayap lalat terdapat penyakit tetapi Nabi menambah suatu ilmu yang belum terjangkau oleh mereka yaitu “Pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya”. Maka sebagai seorang yang beriman kita harus percaya kepada hadits Nabi yang telah disifati oleh Allah (yang artinya) :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS. An-Najm: 3)
Kita lebih percaya kepada wahyu daripada penelitian manusia yang serba kekurangan.
Allah berfirman, yang artinya:
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
(QS. Al-Isra’: 85)
Terlepas dari apakah hadits ini bertentangan dengan ilmu kedokteran atau tidak, kita tetap mengatakan bahwa hadits ini benar adanya, apalagi telah terbukti dari beberapa penelitian ahli kedokteran yang membenarkan hadits ini[17] seperti pernah diungkapkan oleh seorang dokter di Yayasan Al-Hidayah Al-Islamiyyah Mesir mengenai hadits ini: “Lalat itu terbentuk dari bahan-bahan kotor yang penuh dengan kuman dan dapat menimbulkan beberapa penyakit yang beraneka macam. Lalat dapat menyebarkannya melalui kuku-kukunya dan memakan sebagian lainnya. Dengan demikian, maka pada jasadnya terdapat sesuatu beracun yang dalam ilmu kedokteran disebut “bakteri”. Bakteri ini akan membunuh kuman-kuman penyakit tadi sehingga kuman tidak dapat bertahan hidup atau berpengaruh pada diri seorang manusia bilamana bakteri tadi ada.
Pada sayap lalat terdapat keistimewaan, dia dapat memindah bakteri ke ujung sayap. Oleh karena itu, apabila sayap jatuh pada minuman atau makanan dan melepaskan kuman-kuman yang menempel di kukunya pada minuman tersebut, maka penangkal pertama yang paling potensial adalah bakteri yang berada dibawa oleh lalat di tenggorokan dengan salah satu sayapnya. Apabila ada obat penawar, maka obatnya sangat dekat dengannya. Dan mencelupnya lalu membuangnya adalah cara jitu untuk membunuh kuman-kuman yang menempel serta membendung dari pengaruh kuman pada diri manusia”. Keterangan serupa juga pernah disampaikan oleh dokter Al-Ustadz Sa’id As-Shuyuti, dokter Mahmud Kamal dan Muhammad Abdul Mun’im Husain sebagaimana dalam Majalah Al-Azhar.[18]
Saya (Ustadz Abu Ubaidah-editor) teringat ketika dalam suatu majlis ilmi di Masjid Ibnu Utsaimin, tatkala Syaikhuna Sami Muhammad (meanantu Syaikh Ibnu Utsaimin, kini pengganti Syaikh Ibnu Ustaimin di Unaizah-editor) menyindir hadits lalat, DR. Shalih ash-Shalih[19] mengabarkan bahwa dirinya dan beberapa muridnya telah mengadakan penelitian baru tentang analisa mikrobiologi tentang sayap lalap, akhirnya menemukan hasil yang menakjubkan sesuai dengan berita Nabi[20]. Segala puji bagi Allah.
Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah[21]: “Ketahuilah bahwa pada lalat terdapat racun (kuman penyakit) yang terletak pada sengatnya yang merupakan senjata bagi dirinya. Jika ia jatuh atau hinggap pada sesuatu, maka yang pertama menyentuh adalah senjata tadi. Oleh sebab itulah Nabi Muhammad memerintahkan agar mencelupkan lalat itu ke dalam makanan atau minuman yang dihinggapinya. Tujuannya agar kuman penyakit itu menjadi tawar (tidak berfungsu lagi) dan hilanglah bahaya yang ditimbulkannya. Teori ini tidak pernah keluar dari para pakar dan pemuka ahli kedokteran, melainkan a merupakan percikan kemilauannya cahaya kenabian Muhammad. Dengan demikian, maka seorang dokter/tabib yang arif akan tunduk terhadap sistem kedokteran ini dan akan mengakui bahwa Rasulullah adalah makhluk yang paling sempurna dan dikuatkan oleh wahyu ilahi diluar jangkauan kekuatan manusia”.[22]
Keempat: Hadits ini bertentangan dengan akal (logika)
Mereka mengatakan: Bagaimana mungkin penyakit dan obat terhimpun dalam satu hewan. Ini tidak masuk akal?!
Jawab: Mengapa tidak masuk akal?! Akalnya siapa yang tidak dapat menerima hadits ini? Apakah anda tidak memperhatikan bahwa pada tawon/lebah terkumpul antara madu yang bermanfaat dan racun berbahaya! Demikian pula pada kalajengking terdapat penyakit serta obat penawarnya[23].
Imam Al-Khaththabi berkata dalam Ma’alimus Sunan (4/459): “Sebagian orang yang tak berakhlak mencela hadits ini seraya berceloteh: Bagaimana mungkin ini terjadi?! Bagaimana mungkin penyakit dan obat berkumpul dalam sayap lalat?! Bagaimana lalat mampu mengerti sehingga dia mengedepankan terlebih dahulu sayap yang berisi penyakit kemudian mengakhirkan sayap obat penawarnya?! Apa yang membuat lalat begitu pandai?!
Saya (Al-Khaththabi) berkata: “Ini adalah pertanyaan orang yang benar-benar jahil atau memang hanya pura-pura jahil. Seorang yang dapat merasakan kehidupan dirinya dan kehidupan hewan-hewan dia akan mendapati terkumpulnya panas dan dingin, kering dan basah yang saling berlawanan dimana apabila bertemu maka akan saling merusak tetapi Allah mampu untuk menyatukannya dan menjadikannya sebagai kekuatan hewan agar tidak ada orang yang ingkar akan terkumpulnya penyakit dan obat dalam satu hewan. Dia juga mengetahui bahwa Dzat yang mengajari lebah untuk membuat rumah yang sangat menakjubkan serta mengeluarkan madu dan Dzat yang mengajari semut agar mencari makanan pokok serta mmenyimpan untuk kebutuhan hidupnya, Dialah yang menciptaan lalat dan mengajarinya agar mengedepankan sayap penyakit dulu kemudian sayap obatnya. Semua itu adalah keinginan Allah untuk menguji hamba-Nya sebagai wujud ta’abbud (ibadah). Pada segala sesuatu terdapat pelajaran dan hikmah. Dan tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berakal”.[24]
Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “Apa yang diungkapkan orang ini tidaklah aneh karena lebah saja dapat mengeluarkan madunya dari arah atas dan mengeluarkan racunnya dari arah bawah”. [25]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata: “Kalau ada yang mengatakan dari manusia yang jahil tentang hadits Nabi: Apakah lalat bisa mendahulukan salah satu sayapnya karena suatu alasan dan mengakhirkan salah satu sayap lainnya karena alasan yang berbeda? Jawaban kita terhadap pertanyaan tersebut: Seandainya dia membaca Al-Qur’an dengan renuangan, niscaya dia akan mendapati kebenaran ucaan Nabi. Allah berfirman, yang artinya:
Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. (QS. An-Nahl: 68)
Jadi Allah-lah yang mewahyukan kepadanya agar mengerjakan apa yang Dia perintahkan kepadanya”.[26]
D. FATWA DAN KOMENTAR ULAMA TENTANG HADITS LALAT
Untuk melengkapi pembahasan ini agar bertambah ilmiyyah, maka penulis nukilkan sebagian fatwa dan komentar para ulama rabbaniyyun yang telah menjelaskan masalah hadits ini secara gamblang. Berikut komentar mereka:
1. Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hadits ini, maka mereka menjawab: “Hadits ini sanadnya shahih diriwayatkan Bukhari dan memiliki penguat dari jalur Abu Said diriwayatkan Nasa’i dan Ibnu Majah serta jalur Anas bin Malik diriwayatkan Al-Bazzar. Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan akal, lantaran akal tidak menjangkau bahwa pada dua sayap lalat terdapat penyakit dan obat. Hal itu hanyalah dapat diketahui lewat cara penelitian atau lewat informasi dari wahyu. Dan secara penelitian tidak dijumpai hal yang menegaskan akan hal ini. Hal itu hanyalah perasaan jijik yang timbul dari perasaan dan tabiat manusia. Adapun rasulullah, beliau tidak mengetahui masalah ini berdasarkan penelitian dan penyelidikan karena beliau adalah buta huruf tetapi beliau mengetahui berdasarkan informasi dari Allah yang menciptakan segala sesuatu
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan) dan Dia Maha halus lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Mulk: 14)
Apabila hadits ini secara sanad adalah shahih dan bersumber dari Dzat yang mengetahui segala sesuatu melalui lisan Nabi yang jujur, maka wajib bagi kita untuk menegaskan keabsahan hadits ini. Sedangkan alasan bahwa hadits ini bertentangan dengan akal adalah alasan yang rapuh dan prasangka belaka yang harus dibuang sejauh mungkin. Dengan demikian, maka teranglah kebenaran dan lenyaplah kebatilan, sesungguhnya kebatilan pasti hancur musnah”. [27]
2. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz mengatakan: “Adapun hadits tentang lalat, maka hadits tersebut berderajat shahih. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya dan mempunyai syawahid (penguat) dari hadits Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik. Seluruhnya shahih dan diterima oleh umat. Barangsiapa yang mencela hadits ini, berarti dia adalah salah dan jahil, tidak boleh dianggap perkataannya. Dan salah juga orang yang menganggap bahwa hadits ini berkaitan dengan urusan dunia[28] sedangkan Nabi sendiri bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.
Alasannya, karena Rasul menegaskan akan hal ini dan mengambil hukum syar’i darinya. Tidaklah beliau mengatakan “Saya menyangka” tetapi tegas dan perintah. Hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah syari’at dari Rasul karena beliau bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ ِشَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ
Apabila lalat jatuh dalam minuman seorang diantara kalian, maka celupkanlah lalu buanglah.
Ini adalah perintah dan syari’at dari Rasul pada umatnya, sedangkan beliau tidak mungkin berbicara dengan hawa nafsu, tetapi hanya dari wahyu saja”. [29]
3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam bukunya “Makarimul Akhlaq” hal. 16-18: “Salah satu bentuk akhlak yang mulia terhadap Sang Pencipta adalah membenarkan segala berita-Nya dengan tiada keraguan secuilpun dalam hati karena berita Allah dibangun di atas ilmu dan kebenaran. Allah berfirman tentang diri-Nya:
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya daripada Allah? (QS. An-Nisa’: 87)
Konsekuensi dari pembenaran ini adalah menyakininya dengan mantap, membela dan berjuang mempertahankannya sehingga tidak ada sedikitpun keraguan dan kerancuan dalam masalah khabar Allah dan rasul-Nya. Apabila seorang hamba berakhlaq dengan akhlaq mulia ini, niscaya dia akan dapat menampik segala kerancuan yang dilancarkan oleh para pengacau agama baik internal, kaum muslimin yang menyimpang dan berbuat bid’ah dalam agama maupun eksternal, kaum kafirin yang sengaja menebarkan kerancuan di hati orang-orang Islam untuk menyesatkan dan menfitnah mereka.
Sebagai contoh, hadits tentang lalat. Dalam Shahih Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Nabi pernah bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ ِشَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً
Apabila lalat jatuh dalam minuman seorang diantara kalian, maka celupkanlah lalu buanglah karena pada satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya.
Hadits ini merupakan informasi dari Nabi. Sedangkan Nabi tidak mungkin berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi wahyu dari Allah sebab beliau adalah manusia yang tidak mengetahui ilmu ghaib.
Hadits seperti ini harus kita sikapi dengan akhlaq yang mulia yaitu menerimnya dengan tunduk dan pasrah walaupun banyak orang yang menentangnya. Karena kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa setiap yang menyelisihi hadits shahih pasti batil. Allah berfirman, yang artinya:
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?
(QS. Yunus: 32)”.
Demikianlah pembahasan kita kali ini. Semoga Allah menjadikannya ikhlas mengaharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
FAWAID HADITS[30]
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah dan hokum yang penting, diantaranya:
1. Kesempurnaan syari’at Islam, dimana dia menjelaskan secara gamblang masalah penyakit badan dan juga penyakit hati. Oleh karenanya, tidak ada satu permasalahanpun kecuali Allah dan rasulNya telah menjelaskannya.
2. Kemampuan Allah yang telah menjadikan pada satu hewan dua hal yang kontradiksi yaitu penyakit dan obatnya. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Maha mampu atas segala sesuatu.
3. Lalat itu suci dan tidak najis, baik masih hidup maupun sesudah mati. Sebab seandainya najis, tentu Nabi akan memerintahkan supaya airnya dibuang.
4. Apabila lalat mati di air maka tidak menajiskan air tersebut. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan tidak diketahui adanya perselisihan tentangnya[31]. Demikian pula hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti semut, tawon, laba-laba dan sejenisnya. Segi pandalilannya, karena Nabi memerintahkan dalam hadits ini supaya kita mencelupkannya yang kemungkinan besar akan menyebabkan kematiannya. Nah, kalau hal itu menajiskannya maka Nabi akan memerintahkan supaya membuang minuman yang dihinggapi lalat, sedangkan Nabi tidak memerintahkan demikian[32].
5. Apabila lalat masuk ke minuman maka dianjurkan untuk mencelupkannya kemudian membuang lalatnya serta memanfaatkan minuman tersebut.
6. Hadits ini merupakan salah satu bukti keajaiban hadits Nabi. Sebab ilmu medis masa kini telah menyingkap bahwa pada lalat memang terdapat penyakit pada salah satu sayapnya dan obat pada sayap lainnya.
7. Anjuran untuk mencari sebab, karena Nabi menganjurkan untuk melawan penyakit dengan obatnya. Dan Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga obat penawarnya.
8. Boleh membunuh setiap hewan yang mengganggu dan menyakiti.
9. Tidak setiap sesuatu yang dianggap jijik oleh tabiat manusia itu dianggap najis dalam hukum syari’at.
10. Hendaknya manusia mengampil pelajaran dari segala sesuatu, sekalipun dari seekor lalat yang dianggap binatang hina.
Kita berdoa kepada Allah agar menguatkan keimanan dalam hati kita semua. Amiin.
[1]Tulisan pernah dimuat pada edisi 2/Th. III, namun kami angkat lagi dengan beberapa tambahan resensi dan revisi yang cukup banyak.
[2] Al-I’tisham 1/294-295
[3] At-Talkhis al-Habir 1/38.
[4] Lihat al-Fathu al-Kabir 2/273.
[5] Lihat Ar-Raddu al-Qawim ala at-Turabi hal. 83 oleh Syaikh Amin Haj Muhammad.
[6] Mahmud Abu Rayyah adalah seorang yang sangat benci terhadap sunnah dan para pembelanya dari kalangan para sahabat, terutama sahabat mulia Abu Hurairah yang banyak meriwayatkan hadits. Diantara buku hasil goresan tangannya yang keji adalah Adhwa’ Islamiyyah ‘ala Sunnah Muhammadiyyah yang memuat pendapat para tokoh Mu’tazilah, Syia’ah dan oriantalis sehingga buku ini sangat menyenangkan musuh-musuh Islam. Oleh karena itulah, para ulama bangkit membantah kitab sesat tersebut seperti Syaikh Abdur Razzaq Hamzah dalam bukunya “Zhulumat Abu Rayyah” dan Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi dalam bukunya Al-Anwar al-Kasyifah…”. (Lihat as-Sunnah wa Makanatuha Syaikh Musthafa as-Siba’I hal. 467 dan Zawabi’ fi Wajhi Sunnah Maqbul Ahmad hal. 81-85)
[7] Al-Allamah Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata dalam Muqaddimah al-Anwar al-Kasyifah: “Tatkala saya mencermati isi buku ini, ternyata telah tersusun rapi untuk menghujat dan mencela hadits Nabi”.
[8] Dinukil oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah 1/98.
[9] Lihat komentar Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad 6/553.
[10] Lihat al-Baits al-Hatsits Syaikh Ahmad Syakir 1/75.
[11] Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam Jawami’ Sirah 275 bahwa Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5374 hadits. Demikian juga Ibnul Jauzi dalam Talqih Fuhum Ahli Atsar 183 dan adz-Dzahabi dalam Siyar 2/632. DR. Muhammad Dhiya’ Rahman al-A’zhami telah mengumpulkan riwayat-riwayat Abu Hurairah dalam Musnad Imam Ahmad dan kutub sittah, beliau dapat mencapai 13336 hadits saja. Lihat Abu Hurairah fi Dhaui Marwiyyatihi hal. 76. (Dinukil dari Syarh Bulughul Maram al-Audah 1/275).
[12] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah hal. 48 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi.
[13] Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihahin (3/513)
[14] Siyar A’lam Nubala (1/618-619)
[15] Fathul Bari (4/364-365)
[16] al-Anwar al-Kasyifah hal. 221
[17] Ucapan ahli medis kita nukil untuk dua faedah: Pertama: Menambah kemantapan kita. Kedua: Bantahan terhadap pencela syari’at karena akal cekak mereka. Jadi kita tidak menolak semua ucapan para ahli medis dan kita juga tidak menerima semua omongan mereka. Kalau memang ucapan mereka bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah yang jelas, maka kita menolak ucapan mereka dan kita katakan: Akan datang suatu zaman, dimana manusia akan membuktikan kedustaan omongan kalian dan kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram Ibnu Utsaimin 1/130).
[18] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah al-Albani 1/97-98, Difa’ ‘an Sunnah Abu Syuhbah hal. 169, al-Ishabah fi Sihhah Hadits Dzubabah Khalil Ibrahim Mula Khathir hal. 133-178.
[19] Beliau adalah salah satu murid Syaikh Ibnu Utsaimin, ahli fisika dan biologi, aktif berdakwah dengan bahasa Inggris, wafat usai sholat jumat di masjid Nabawi, 22 Shofar 1429 H.
[20] Lihat juga Majalah Adz-Dzakhiroh Al-Islamiyah no. 3 Edisi 35 hlm. 21-23
[21] Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/252 mengisyaratkan penjelasan Ibnu Qayyim ini dengan tanpa menyebut namanya, tetapi beliau mensifatinya dengan ucapannya “Sebagian pakar ahli kedokteran”.
[22] Zadul Ma’ad (4/112-113)
[23] Lihat Faidhul Qadir 1/567 oleh Al-Munawi.
[24] Dinukil juga oleh al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 11/261-262 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/252.
[25] Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/252.
[26] Syarh Musykil Atsar 8/343
[27] Fatawa Lajnah Daimah 4/425.
[28] Lihat juga Syubuhat Haula Sunnah, Abdur Rozzaq ‘Afifi hal. 15-44
[29] Majmu Fatawa wa Maqalat 6/373.
[30] Lihat Fathu Dzil Jalal wal Ikram Ibnu Utsaimin 1/130-134, Taudhihul Ahkam Ibnu Bassam 1/148, Tashil Ilmam Shalih al-Fauzan 1/62-63.
[31] Lihat al-Ausath Ibnul Mundzir 1/282.
[32] Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 4/102, Syarh Sunnah al-Baghawi 11/260)
sumber : http://abiubaidah.com/