Fatwa Ulama Seputar Hukum Menyingkat SAW, SWT,WRWB

Fatwa Ulama Seputar Hukum Menyingkat SAW, SWT,WRWB - Banyak saudara kita yang menulis ucapan salam, ucapan sholawat dan asma Allah dengan singkatan, baik itu di comment-comment, di sms, di surat , dan lain - lain. Kita tahu bahwa menulis tidaklah beda dengan kita berbicara kepada orang lain, yang mana di situ ada malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan tersebut. Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya di sisi Allah, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari ke ikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.
Insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan.

Berikut adalah fatwa-fatwa ulama seputar masalah penyingkatan kata:

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal :
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari www.bakkah.net

Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Soal:
Bolehkah menulis huruf SAW yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent)tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikiantidak pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)
Diterjemahkan dari fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
Soal:
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW dengan maksud singkatan dari salallahu ‘alaihi wassalam ?
Jawab:
“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah, menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipat gandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:
“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.” [HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut.

Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama,
ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua,
ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.
Sumber: bakkah.net/interactive/q&a/aawa004.htm http://bakkah.net/articles/SAWS.htmhttp://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm

Kesimpulan:
Kita tidak boleh menyingkat salam dengan cara apapun, misalnya “assalaamu’alaykum wr.Wb.”, menyingkat sholawat seperti SAW atau menyingkat lafadz dengan SWT.

Alasannya seperti yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama diatas karena didalamnya ada bentuk do’a dan pengagungan kepada Allah yang telah disyari’atkan, Misal ada orang menyingkat “Allah SWT” berarti dia telah menyelisihi bentuk pengagungan yang telah di syari’atkan, hendaknya dia menulis “Allah Subhanallahu wa ta’ala”.

Ada juga yang menuliskan ALLAH dengan huruf “4JJ1?, tidak boleh kita menulis seperti ini karena “4JJ1? telah diselewengkan maknanya menjadi “For Judas Jesus Isa Al-Masih”.Maha suci Allah dari ucapan seperti ini.

Firman Allah subhannallahuwa ta’ala (yang artinya):“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (An Nisaa’: 86).

Berikut ucapan salam dan keutamaannya yg telah dicontohkan olehRasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:

“Telah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah menjawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala.
(Hadits Hasan :Riwayat Abu Daud Tarmizi)

Semoga bermanfaat, Wallahu Ta’ala a’lam bissowab

————————-
Sekedar Tambahan:
Disampaikan oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menuliskan shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!] (Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249)
-----------------------
Berikut penjelasan Al-Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah disertai dengan perkataan ulama salaf terkait dengan permasalahan ini.

Sebagaimana shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu disyari’atkan ketika tasyahhud di dalam shalat, disyari’atkan pula di dalam khuthbah-khuthbah, do’a-do’a, istighfar, setelah adzan, ketika masuk masjid dan keluar darinya, ketika menyebut nama beliau, dan di waktu-waktu yang lain, maka shalawat ini pun juga ditekankan ketika menulis nama beliau, baik di dalam kitab, karya tulis, surat, makalah, atau yang semisalnya.

Dan yang disyari’atkan adalah shalawat tersebut ditulis secara sempurna sebagai realisasi dari perintah Allah ta’ala kepada kita, dan untuk mengingatkan para pembacanya ketika melalui bacaan shalawat tersebut.

Tidak seyogyanya ketika menulis shalawat kepada Rasulullah dengan singkatan ‘SAW’[1] atau yang semisal dengan itu, yang ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis dan pengarang, karena yang demikian itu terkandung penyelisiahan terhadap perintah Allah subhanahu wata’ala di dalam kitabnya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Bersamaan dengan itu tidaklah tercapai dengan sempurna maksud disyari’atkannya shalawat dan hilanglah keutamaan yang terdapat pada penulisan shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sempurna. Dan bahkan terkadang pembaca tidak perhatian dengannya atau tidak paham maksudnya (jika hanya ditulis ‘SAW’)[2]. Dan perlu diketahui bahwa menyingkat shalawat dengan singkatan yang seperti ini telah dibenci oleh sebagian ahlul ‘ilmi dan mereka telah memberikan peringatan agar menghindarinya.

Ibnush Shalah di dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits’ atau yang dikenal dengan ‘Muqaddamah Ibnish Shalah’ pada pembahasan yang ke-25 tentang ‘penulisan hadits dan bagaimana menjaga kitab dan mengikatnya’ berkata:

“Yang kesembilan: hendaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut nama beliau dan jangan merasa bosan untuk mengulanginya (penulisan shalawat tersebut) jika terulang (penyebutan nama beliau) karena sesungguhnya hal itu merupakan faidah terbesar yang tergesa-gesa padanya para penuntut hadits dan para penulisnya (sehingga sering terlewatkan, pent). Dan barangsiapa yang melalaikannya, maka sungguh dia telah terhalangi dari keberuntungan yang besar. Dan kami melihat orang-orang yang senantiasa menjaganya mengalami mimpi yang baik, apa yang mereka tulis dari shalawat itu merupakan do’a yang dia panjatkan dan bukan perkataan yang diriwayatkan. Oleh sebab itu tidak ada kaitannya dengan periwayatan, dan tidak boleh mencukupkan dengan apa yang ada di dalam kitab aslinya.

Demikian juga pujian kepada Allah subhanahu wata’ala ketika menyebut nama-Nya seperti ‘azza wajalla, tabaraka wata’ala, dan yang semisalnya.”

Sampai kemudian beliau mengatakan:

“Kemudian hendaknya ketika menyebutkan shalawat tersebut untuk menghindari dua bentuk sikap mengurangi. Yang pertama, ditulis dengan mengurangi tulisannya, berupa singkatan dengan dua huruf atau yang semisalnya. Yang kedua, ditulis dengan mengurangi maknanya, yaitu dengan tanpa menuliskan ‘wasallam’.

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinani rahimahullahu ta’ala, sesungguhnya dia berkata:

“Dahulu saya menulis hadits, dan ketika menyebut Nabi, saya menulis ’shallallahu ‘alaihi’ tanpa menuliskan ‘wasallam’. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi, maka beliau pun bersabda kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?’ Maka beliau (Hamzah Al-Kinani) pun berkata: ‘Setelah itu saya tidak pernah menuliskan ’shallallahu ‘alaihi’ kecuali saya akan tulis pula ‘wasallam’.

Ibnush Shalah juga berkata:

“Saya katakan: Dan termasuk yang dibenci pula adalah mencukupkan dengan kalimat ‘alaihis salam’, wallahu a’lam.”

-Selesai maksud dari perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitabnya ‘Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi’ berkata:

“Jauhilah -wahai para penulis- dari menyingkat shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tulisan engkau dengan dua huruf atau yang semisalnya sehingga penulisannya menjadi kurang sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang bodoh dari kebanyakan kalangan anak-anak orang ‘ajam dan orang-orang awam dari kalangan penuntut ilmu. Mereka hanya menuliskan “ص”, “صم”, atau “صلم” sebagai ganti shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu di samping mengurangi pahala karena kurangnya penulisannya, juga menyelisihi sesuatu yang lebih utama.”

As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi’ berkata:

“Dan termasuk yang dibenci adalah menyingkat shalawat atau salam di sini dan di setiap tempat/waktu yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana yang diterangkan dalam Syarh Shahih Muslim dan yang lainnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

“>يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)”

Beliau juga berkata:

“Dan dibenci pula menyingkat keduanya (shalawat dan salam) dengan satu atau dua huruf sebagaimana orang yang menulis “صلعم”, akan tetapi seharusnya dia menuliskan keduanya dengan sempurna.”

-Selesai maksud perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Asy-Syaikh bin Baz kemudian mengatakan:

Dan wasiatku untuk setiap muslim, para pembaca, dan penulis agar hendaknya mencari sesuatu yang afdhal (lebih utama) dan sesuatu yang padanya ada ganjaran dan pahala yang lebih, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan atau menguranginya.

Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq untuk kita semua kepada sesuatu yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Mulia.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Imam Ibni Baz, II/397-399)

Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=871
[1] Dalam tulisan Arab, penyingkatan shalawat ini biasanya dengan huruf ص, صلم, atau صلعم.

[2] Dan ini terkadang kita jumpai, seseorang yang membaca singkatan ini (SAW atau SWT dan yang lainnya), dia hanya mengeja huruf-huruf tersebut tanpa melafazhkan shallallahu ‘alaihi wasallam maupun subhanahu wata’ala. Mungkin dia sengaja melakukannya walaupun tahu maksud SAW/SWT, atau bahkan mungkin juga dia tidak tahu maksud singkatan tersebut. Wallahul Musta’an.

Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=479#more-479
Fatwa Ulama Seputar Hukum Menyingkat SAW, SWT,WRWB

Postingan terkait: