Bimbingan Ulama dalam Menasehati dan Menyikapi Kesalahan Orang yang Berilmu
Sebuah sorotan terhadap facebooker yang menjatuhkan kehormatan asatidzah ahlus sunnah di mata ummat melalui Facebook dan media-media dunia maya lainnya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray
Tidak ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang yang berilmu melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah memuliakan orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan kehormatan mereka.
Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-orang yang berilmu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
الدين النصيحة قلنا لمن قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di antara mereka.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu)
Makna Nasihat kepada Orang-Orang Berilmu:
1. Mencintai mereka
2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran
3. Membela kehormatan mereka
4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN
5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia.
Adapun yang menjatuhkan kehormatan mereka di hadapan manusia, sama saja dengan menghalangi sampainya pengajaran dan dakwah mereka kepada manusia, sebab perbuatannya itu akan membuat manusia lari dari mereka. Maka berarti dia belum melakukan kewajiban nasihat kepada orang-orang yang berilmu.
Tahapan dalam Menyikapi Kesalahan Seorang yang Berilmu:
Seorang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi kesalahan orang yang berilmu dan orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang yang berilmu dari penjelasan Faqihul ‘Ashr Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,
1. Tahapan Pertama: Melakukan tatsabbut (pemastian) berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.
2. Tahapan Kedua: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh ternyata hal itu adalah kebenaran.
3. Tahapan Ketiga: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.
4. Tahapan Keempat: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:
MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah (menyampaikan pendapatmu), akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri) dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang lainnya kecil di hadapannya.
(Diringkas dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142)
copas Homepage Pribadi Rizky Abu Salman Al-Magetaniy™
Sebuah sorotan terhadap facebooker yang menjatuhkan kehormatan asatidzah ahlus sunnah di mata ummat melalui Facebook dan media-media dunia maya lainnya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray
Tidak ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang yang berilmu melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah memuliakan orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan kehormatan mereka.
Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-orang yang berilmu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
الدين النصيحة قلنا لمن قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di antara mereka.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu)
Makna Nasihat kepada Orang-Orang Berilmu:
1. Mencintai mereka
2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran
3. Membela kehormatan mereka
4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN
5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia.
Adapun yang menjatuhkan kehormatan mereka di hadapan manusia, sama saja dengan menghalangi sampainya pengajaran dan dakwah mereka kepada manusia, sebab perbuatannya itu akan membuat manusia lari dari mereka. Maka berarti dia belum melakukan kewajiban nasihat kepada orang-orang yang berilmu.
Tahapan dalam Menyikapi Kesalahan Seorang yang Berilmu:
Seorang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi kesalahan orang yang berilmu dan orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang yang berilmu dari penjelasan Faqihul ‘Ashr Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,
1. Tahapan Pertama: Melakukan tatsabbut (pemastian) berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.
2. Tahapan Kedua: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh ternyata hal itu adalah kebenaran.
3. Tahapan Ketiga: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.
4. Tahapan Keempat: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:
MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah (menyampaikan pendapatmu), akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri) dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang lainnya kecil di hadapannya.
(Diringkas dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142)
copas Homepage Pribadi Rizky Abu Salman Al-Magetaniy™