Pemahaman yang kacau balau tentang tawassul
Diantara kaum Muslimin ada yang mengatakan: “Tawassul dengan orang lain artinya wasilah (perantara) yang kita sebutkan di dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Contohnya adalah doa berikut: “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…”, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…”, “Ya Allah, berkat para Rasul dan Wali-Mu…””.
Diantara kaum Muslimin ada juga yang mengatakan: “Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri. Bagaimana bisa? Kami akan menjelaskannya secara ringkas.
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah seorang saleh yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ia menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran Rasul-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i. Kita semua tahu bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya serta kepada orang-orang yang saleh merupakan amal yang sangat mulia… dst”.[1]
Di awal pembahasan ia mendefinisikan bahwa tawassul dengan orang lain maknanya ialah bahwa perantara yang kita sebutkan dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Kemudian dia menyebutkan bahwa ketika seseorang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri?!
Dalam hal ini ia hendak menyamakan antara seseorang yang mengatakan: “Ya Allah, demi cintaku kepada Nabi-Mu… atau demi cintaku kepada Imam Syafi’i…” dan semisalnya; dengan orang yang mengatakan: “Ya Allah, demi kebesaran Nabi Muhammad… atau berkat Imam Syafi’i…”. Padahal setiap orang yang paham bahasa Indonesia pasti mengatakan bahwa makna kedua ucapan di atas jelas berbeda. Yang pertama ialah tawassul dengan menyebut amal saleh yang dia perbuat -dan hal ini dianjurkan-, sedang yang kedua ialah tawassul dengan menyebut amal seseorang yang hal tersebut adalah milik orang lain, bukan milik si pendoa. Lantas bagaimana keduanya bisa disamakan?
Lepas dari ini semua, cara berdoa semacam ini adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para salaf. Dan sebagaimana telah pembaca ketahui, bahwa seandainya cara berdoa semacam ini adalah hal yang dianjurkan dalam agama, pastilah mereka lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Bila kita perhatikan dalil-dalil yang berbicara mengenai tata cara berdoa, kita akan dapati bahwa Islam bukanlah agama birokrasi yang sedikit-sedikit harus pakai perantara. Cara seperti ini justeru identik dengan praktek orang jahiliyah yang menjadikan berhala-berhala mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (lihat surat Az Zumar: 3 dan Yunus: 18).
Karenanya, kalau saudara perhatikan ayat-ayat yang menjawab sejumlah pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saudara akan dapati bahwa semua jawabannya dimulai dengan perintah: “Katakanlah (hai Muhammad)…”. Contohnya sebagai berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…” (Al Baqarah: 189).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,… dst” (Al Baqarah: 215).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…. dst” (Al Baqarah: 217).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…” (Al Baqarah: 219).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu [2]. Namun ketika pertanyaannya tentang bagaimana cara berdoa kepada Allah? maka jawabannya sungguh berbeda! Simaklah ayat berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu mengenai-Ku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku….” (Al Baqarah: 186).
Perhatikan, dalam ayat di atas Allah tidak menggunakan kata ‘katakanlah’ -alias menjadikan Nabi sebagai perantara-, akan tetapi Dia sendiri yang langsung menjawab pertanyaan ini. Kemudian mengatakan bahwa diri-Nya lah yang akan mengabulkan doa hambanya secara langsung, tanpa menyebut-nyebut perantara dalam hal ini. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak butuh perantara dalam doa, bahkan Dia lebih menyukai doa yang langsung dipanjatkan kepada-Nya tanpa perantara, sebab Dia maha dekat terhadap hamba-Nya.
Lebih dari itu, jika kita meyakini kebesaran Allah dan sifat-Nya yang Maha lembut, Pengasih, Penyayang, Mengabulkan doa hambanya, dan sebagainya; maka aneh sekali jika kita lebih suka berhubungan dengan-Nya melalui perantara.
Kalaulah seseorang yang ingin menghadap Raja atau Presiden telah mendapat izin langsung untuk menghadapnya, kemudian dia enggan dan justru mencari perantara, bukankah ini namanya menyia-nyiakan kesempatan emas?? Lantas bagaimana jika Raja atau Presiden tadi menyatakan bahwa dirinya lebih suka kalau yang bersangkutan menghadap langsung kepadanya, namun orang tersebut justru menjauh dan tetap pakai perantara? Bukankah ini termasuk pembangkangan terhadap keinginannya?
Demikian pula dengan ayat di atas, Allah secara langsung menjawab pertanyaan tersebut tanpa menjadikan Nabi sebagai perantara, dan secara tegas menyatakan bahwa diri-Nya maha dekat dengan kita, lantas mengapa kita tidak mau langsung meminta kepada-Nya?
Diantara kaum Muslimin ada yang mengatakan: “Tawassul dengan orang lain artinya wasilah (perantara) yang kita sebutkan di dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Contohnya adalah doa berikut: “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…”, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…”, “Ya Allah, berkat para Rasul dan Wali-Mu…””.
Diantara kaum Muslimin ada juga yang mengatakan: “Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri. Bagaimana bisa? Kami akan menjelaskannya secara ringkas.
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah seorang saleh yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ia menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran Rasul-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i. Kita semua tahu bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya serta kepada orang-orang yang saleh merupakan amal yang sangat mulia… dst”.[1]
Di awal pembahasan ia mendefinisikan bahwa tawassul dengan orang lain maknanya ialah bahwa perantara yang kita sebutkan dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Kemudian dia menyebutkan bahwa ketika seseorang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri?!
Dalam hal ini ia hendak menyamakan antara seseorang yang mengatakan: “Ya Allah, demi cintaku kepada Nabi-Mu… atau demi cintaku kepada Imam Syafi’i…” dan semisalnya; dengan orang yang mengatakan: “Ya Allah, demi kebesaran Nabi Muhammad… atau berkat Imam Syafi’i…”. Padahal setiap orang yang paham bahasa Indonesia pasti mengatakan bahwa makna kedua ucapan di atas jelas berbeda. Yang pertama ialah tawassul dengan menyebut amal saleh yang dia perbuat -dan hal ini dianjurkan-, sedang yang kedua ialah tawassul dengan menyebut amal seseorang yang hal tersebut adalah milik orang lain, bukan milik si pendoa. Lantas bagaimana keduanya bisa disamakan?
Lepas dari ini semua, cara berdoa semacam ini adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para salaf. Dan sebagaimana telah pembaca ketahui, bahwa seandainya cara berdoa semacam ini adalah hal yang dianjurkan dalam agama, pastilah mereka lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Bila kita perhatikan dalil-dalil yang berbicara mengenai tata cara berdoa, kita akan dapati bahwa Islam bukanlah agama birokrasi yang sedikit-sedikit harus pakai perantara. Cara seperti ini justeru identik dengan praktek orang jahiliyah yang menjadikan berhala-berhala mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (lihat surat Az Zumar: 3 dan Yunus: 18).
Karenanya, kalau saudara perhatikan ayat-ayat yang menjawab sejumlah pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saudara akan dapati bahwa semua jawabannya dimulai dengan perintah: “Katakanlah (hai Muhammad)…”. Contohnya sebagai berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…” (Al Baqarah: 189).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,… dst” (Al Baqarah: 215).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…. dst” (Al Baqarah: 217).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…” (Al Baqarah: 219).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu [2]. Namun ketika pertanyaannya tentang bagaimana cara berdoa kepada Allah? maka jawabannya sungguh berbeda! Simaklah ayat berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu mengenai-Ku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku….” (Al Baqarah: 186).
Perhatikan, dalam ayat di atas Allah tidak menggunakan kata ‘katakanlah’ -alias menjadikan Nabi sebagai perantara-, akan tetapi Dia sendiri yang langsung menjawab pertanyaan ini. Kemudian mengatakan bahwa diri-Nya lah yang akan mengabulkan doa hambanya secara langsung, tanpa menyebut-nyebut perantara dalam hal ini. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak butuh perantara dalam doa, bahkan Dia lebih menyukai doa yang langsung dipanjatkan kepada-Nya tanpa perantara, sebab Dia maha dekat terhadap hamba-Nya.
Lebih dari itu, jika kita meyakini kebesaran Allah dan sifat-Nya yang Maha lembut, Pengasih, Penyayang, Mengabulkan doa hambanya, dan sebagainya; maka aneh sekali jika kita lebih suka berhubungan dengan-Nya melalui perantara.
Kalaulah seseorang yang ingin menghadap Raja atau Presiden telah mendapat izin langsung untuk menghadapnya, kemudian dia enggan dan justru mencari perantara, bukankah ini namanya menyia-nyiakan kesempatan emas?? Lantas bagaimana jika Raja atau Presiden tadi menyatakan bahwa dirinya lebih suka kalau yang bersangkutan menghadap langsung kepadanya, namun orang tersebut justru menjauh dan tetap pakai perantara? Bukankah ini termasuk pembangkangan terhadap keinginannya?
Demikian pula dengan ayat di atas, Allah secara langsung menjawab pertanyaan tersebut tanpa menjadikan Nabi sebagai perantara, dan secara tegas menyatakan bahwa diri-Nya maha dekat dengan kita, lantas mengapa kita tidak mau langsung meminta kepada-Nya?